Rabu, 22 Mei 2013

pentingnya pendidikan islam

Pendidikan Agama Islam di SMA adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam
dari sumber utamanya kitab suci al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman

Salah satu ungkapan fisikawan terkenal, Albert Einstein adalah: ”science without religion is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh). Seorang Einstein menyadari bahwa antara ilmu dan agama memiliki kaitan yang erat sekali dan amat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Jauh sebelum Einstein, agama Islam juga memandang penting antara ilmu dan agama. Bahkan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW justru mengandung perintah untuk menguasai ilmu dengan landasan iman (Qs. al-'Alaq/96: 1-5).

Pentingnya ilmu dan agama juga terlihat jelas dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Kriteria pertama dan utama dalam rumusan tujuan tersebut adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME serta berakhlak mulia. Rumusan ini menunjukkan sistem pendidikan kita justru meletakkan agama lebih dahulu dari pada ilmu pengetahun.

Penempatan ilmu sesudah agama sesungguhnya logis dan relevan dengan karakter bangsa yang berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketika ilmu yang lebih diutamakan akan dikhawatirkan lahirnya orang-orang pintar tetapi tidak beriman. Akibatnya, kepintaran mereka bisa menghasilkan mudharat yang lebih besar dari pada manfaat. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas.

Namun dalam kenyataannya, pendidikan kita masih sulit untuk mewujudkan tujuan tersebut. Munculnya berbagai kasus tindakan amoral yang tidak mencerminkan kepribadian yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia masih kerap ditemukan di negeri ini. Bahkan prilaku tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam yang berpendidikan rendah, akan tetapi kalangan elit dan berpendidikan tinggi pun tidak luput darinya. Sebut saja seperti tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai bentuk manipulasi lainnya yang merugikan orang banyak masih menjadi kasus yang memprihatinkan. Lain lagi dengan kasus tindak kriminal seperti pembunuhan serta perdagangan perempuan dan bayi juga menjadi catatan serius yang belum tertuntaskan. Lebih ironis lagi, banyak pula ditemukan perilaku amoral yang justru dilakukan oleh generasi muda yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa, seperti kekerasan, seks bebas (free sex), aborsi, dan penyalahgunaan narkoba.

Munculnya fenomena di atas acap kali melahirkan imej negatif terhadap pendidikan agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, dinilai gagal mewujudkan kepribadian peserta didik yang religius dengan karakter iman, ilmu, dan amal secara integral. Terutama di sekolah, dengan tatap muka yang relatif terbatas, PAI dianggap kurang berperan mewujudkan tujuan pendidikan yang religius. Padahal, minat masyarakat terhadap sekolah umum jauh lebih besar, karena dianggap lebih menjanjikan peluang kerja dan kesuksesan di masa mendatang.

Oleh karena itu, PAI harus memperpertegas perannya di Sekolah, terutama mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas. Jika tidak, bisa jadi PAI dianggap tidak perlu, bahkan tidak menutup kemungkinan dihapuskan. Untuk mempertegas peran PAI tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, PAI bukanlah mata pelajaran tambahan (suplement), akan tetapi sebagai mata pelajaran inti. Selama ini ada kesan bahwa PAI hanyalah mata pelajaran tambahan, apalagi ketika PAI tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN). Akibatnya, peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti pembelaran PAI dengan baik. Padahal PAI merupakan mata pelajaran inti. Sebagai mata pelajaran inti, pihak sekolah diharapkan memberi perhatian lebih terhadap PAI. Perhatian itu dapat diwujudkan dengan merumuskan dan menetapkan bebarapa aturan (regulasi) yang mendukung penerapan PAI, sehingga sekolah tersebut bernuansa agamis, bukan saja dalam bentuk formal, akan tetapi terjadinya proses penanaman nilai-nilai keberagamaan dalam perilaku dan kepribadian peserta didik. Selain itu, sekolah juga diharapkan menjadikan pendidikan agama sebagai bagian dari visi misi sekolah sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan tidak terlepas dari nilai-nilai agama.

Kedua, PAI harus lebih berorientasi kepada pengamalan dari pada pengetahuan dan pemahaman. Selama ini, pembelajaran PAI lebih berorientasi kepada aspek kognitif sehingga peserta didik mengetahui tentang benar dan salah, perintah dan larangan, akan tetapi tidak dapat menerapkannya dalam tindakan yang nyata. Untuk itu pembelajaran PAI harus berorientasi kepada pengamalan dan tindakan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan, keteladanan, dan perubahan mindset peserta didik tentang pentingnya agama dalam kehidupan ini. Karenanya guru PAI mesti berupaya seoptimal mungkin untuk menjadi teladan (figur-central) bagi peserta didiknya dalam bersikap dan menerapkan agama di setiap tindakannya. Selain itu, guru dituntut pula mengembangkan pendekatan dan metodologi pembelajaran yang dapat merubah mindset peserta didik. Inovasi dan kreatifitas guru PAI tentu sangat diperlukan.

Ketiga, PAI diharapkan mampu bekerja sama dengan seluruh komponen sekolah, baik dengan unsur pimpinan maupun dengan sesama guru bidang studi lain. Kerja sama ini penting dilakukan, khususnya dalam upaya penerapan sikap keberagamaan yang baik. Bentuk kerja sama itu dapat diwujudkan dengan kepedulian dan keikutsertaan guru lain untuk menerapkan ajaran agama di sekolah, seperti pelaksanaan shalat zhuhur berjamaah di sekolah, menegakkan disiplin, membudayakan senyum, sapa dan salam, membudayakan kebersihan, dan sebagainya. Artinya, setiap guru dan komponen sekolah harus berupaya menjadi teladan bagi peserta didik dalam hal pengamalan ajaran agama. Selain itu, kerja sama juga diperlukan dalam menerapkan regulasi/aturan-aturan yang telah dibuat sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dengan demikian, mengamalkan ajaran agama sejatinya tidak hanya tugas dan tanggung jawab guru agama an sich, akan tetapi tanggung jawab bersama guru-guru, pegawai serta komponen lainnya yang terlibat langsung di sekolah, khususnya yang beragama Islam dalam menerapkan ajaran Islam.

Keempat, PAI harus mampu mewarnai mata pelajaran lain. Kemampuan PAI dalam mewarnai mata pelajaran lain diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berbasiskan agama, tentu dilakukan oleh guru yang beragama Islam. Artinya setiap guru yang beragama Islam, meskipun mengasuh mata pelajaran selain PAI, seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, dan sebagainya diharapkan mampu mengajarkannya dengan pendekatan agama. Hal ini bisa dilakukan, mengingat seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah pada dasarnya termasuk dalam kategori pendidikan Islam. Bahkan al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam, mengandung isyarat-isyarat ilmiah serta beragam ilmu pengetahuan, termasuk berbagai ilmu yang berkembang dewasa ini. Karenanya, guru mata pelajaran selain PAI tersebut diharapkan mampu menggali isyarat-isyarat al-Qur'an tersebut lalu mengintegrasikannya dalam pembelajaran materi yang dibimbingnya. Kemudian guru-guru yang beragama Islam itu pun pada dasarnya telah mengetahui konsep-konsep ajaran Islam, meskipun dalam bentuk ilmu dasar.

Kelima, partisipasi perguruan tinggi umum (PTU) dalam mempersiapkan guru berwawasan agama sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya. Selama ini, PAI di PTU hanya dalam bentuk Mata Kuliah Umum (MKU) dengan materi-materi dasar keislaman. Sebaiknya, di samping PAI sebagai MKU, materi PAI yang berkenaan dengan spesifikasi keilmuan masing-masing fakultas/jurusan juga patut diberikan. Khususnya fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, masing-masing jurusan diberikan pula mata kuliah PAI yang sesuai dengan materi jurusannya masing-masing. Dengan begitu, diharapkan mereka memiliki wawasan ilmu keislaman sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya sehingga kelak menjadi bekal baginya sebagai guru mata pelajaran di sekolah untuk menerapkan pembelajaran berbasis agama. Partisipasi PTU seperti ini sangat diharapkan untuk memenuhi upaya keempat di atas. 

Dengan upaya seperti ini, peran PAI di sekolah umum di harapkan semakin jelas dan tegas dalam mewujudkan peserta didik yang mampu menerapkan ajaran agama dengan baik serta memiliki ilmu pengetahuan. Agama tidak hanya dipahami sebagai ajaran yang menentramkan dimensi spiritualitas manusia, akan tetapi agama (baca: Islam) sejatinya menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, holistik, dan universal, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika ilmu dimiliki dan dikembangkan berlandaskan kepada ajaran agama Islam, niscaya ilmu itu akan mendatangkan manfaat dan terhindar dari mudharat. Akhirnya bangsa ini pun dapat tampil lebih terhormat dan bermartabat serta mampu tampil terdepan, 

pentingnya pendidikan islam

Pendidikan Agama Islam di SMA adalah upaya sadar dan terencana dalam
menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga
mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam
dari sumber utamanya kitab suci al-Quran dan Hadits, melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman

Salah satu ungkapan fisikawan terkenal, Albert Einstein adalah: ”science without religion is blind, religion without science is lame” (ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh). Seorang Einstein menyadari bahwa antara ilmu dan agama memiliki kaitan yang erat sekali dan amat dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Jauh sebelum Einstein, agama Islam juga memandang penting antara ilmu dan agama. Bahkan wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW justru mengandung perintah untuk menguasai ilmu dengan landasan iman (Qs. al-'Alaq/96: 1-5).

Pentingnya ilmu dan agama juga terlihat jelas dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 3 UU Sisdiknas tahun 2003 ditegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah "...untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Kriteria pertama dan utama dalam rumusan tujuan tersebut adalah manusia yang beriman dan bertakwa kepada TYME serta berakhlak mulia. Rumusan ini menunjukkan sistem pendidikan kita justru meletakkan agama lebih dahulu dari pada ilmu pengetahun.

Penempatan ilmu sesudah agama sesungguhnya logis dan relevan dengan karakter bangsa yang berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ketika ilmu yang lebih diutamakan akan dikhawatirkan lahirnya orang-orang pintar tetapi tidak beriman. Akibatnya, kepintaran mereka bisa menghasilkan mudharat yang lebih besar dari pada manfaat. Oleh karena itu, Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas.

Namun dalam kenyataannya, pendidikan kita masih sulit untuk mewujudkan tujuan tersebut. Munculnya berbagai kasus tindakan amoral yang tidak mencerminkan kepribadian yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia masih kerap ditemukan di negeri ini. Bahkan prilaku tersebut tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam yang berpendidikan rendah, akan tetapi kalangan elit dan berpendidikan tinggi pun tidak luput darinya. Sebut saja seperti tindakan korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai bentuk manipulasi lainnya yang merugikan orang banyak masih menjadi kasus yang memprihatinkan. Lain lagi dengan kasus tindak kriminal seperti pembunuhan serta perdagangan perempuan dan bayi juga menjadi catatan serius yang belum tertuntaskan. Lebih ironis lagi, banyak pula ditemukan perilaku amoral yang justru dilakukan oleh generasi muda yang masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa, seperti kekerasan, seks bebas (free sex), aborsi, dan penyalahgunaan narkoba.

Munculnya fenomena di atas acap kali melahirkan imej negatif terhadap pendidikan agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, dinilai gagal mewujudkan kepribadian peserta didik yang religius dengan karakter iman, ilmu, dan amal secara integral. Terutama di sekolah, dengan tatap muka yang relatif terbatas, PAI dianggap kurang berperan mewujudkan tujuan pendidikan yang religius. Padahal, minat masyarakat terhadap sekolah umum jauh lebih besar, karena dianggap lebih menjanjikan peluang kerja dan kesuksesan di masa mendatang.

Oleh karena itu, PAI harus memperpertegas perannya di Sekolah, terutama mewujudkan rumusan tujuan pendidikan di atas. Jika tidak, bisa jadi PAI dianggap tidak perlu, bahkan tidak menutup kemungkinan dihapuskan. Untuk mempertegas peran PAI tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, PAI bukanlah mata pelajaran tambahan (suplement), akan tetapi sebagai mata pelajaran inti. Selama ini ada kesan bahwa PAI hanyalah mata pelajaran tambahan, apalagi ketika PAI tidak masuk dalam Ujian Nasional (UN). Akibatnya, peserta didik kurang termotivasi untuk mengikuti pembelaran PAI dengan baik. Padahal PAI merupakan mata pelajaran inti. Sebagai mata pelajaran inti, pihak sekolah diharapkan memberi perhatian lebih terhadap PAI. Perhatian itu dapat diwujudkan dengan merumuskan dan menetapkan bebarapa aturan (regulasi) yang mendukung penerapan PAI, sehingga sekolah tersebut bernuansa agamis, bukan saja dalam bentuk formal, akan tetapi terjadinya proses penanaman nilai-nilai keberagamaan dalam perilaku dan kepribadian peserta didik. Selain itu, sekolah juga diharapkan menjadikan pendidikan agama sebagai bagian dari visi misi sekolah sehingga berbagai kegiatan yang dilakukan tidak terlepas dari nilai-nilai agama.

Kedua, PAI harus lebih berorientasi kepada pengamalan dari pada pengetahuan dan pemahaman. Selama ini, pembelajaran PAI lebih berorientasi kepada aspek kognitif sehingga peserta didik mengetahui tentang benar dan salah, perintah dan larangan, akan tetapi tidak dapat menerapkannya dalam tindakan yang nyata. Untuk itu pembelajaran PAI harus berorientasi kepada pengamalan dan tindakan yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, diperlukan pembiasaan, keteladanan, dan perubahan mindset peserta didik tentang pentingnya agama dalam kehidupan ini. Karenanya guru PAI mesti berupaya seoptimal mungkin untuk menjadi teladan (figur-central) bagi peserta didiknya dalam bersikap dan menerapkan agama di setiap tindakannya. Selain itu, guru dituntut pula mengembangkan pendekatan dan metodologi pembelajaran yang dapat merubah mindset peserta didik. Inovasi dan kreatifitas guru PAI tentu sangat diperlukan.

Ketiga, PAI diharapkan mampu bekerja sama dengan seluruh komponen sekolah, baik dengan unsur pimpinan maupun dengan sesama guru bidang studi lain. Kerja sama ini penting dilakukan, khususnya dalam upaya penerapan sikap keberagamaan yang baik. Bentuk kerja sama itu dapat diwujudkan dengan kepedulian dan keikutsertaan guru lain untuk menerapkan ajaran agama di sekolah, seperti pelaksanaan shalat zhuhur berjamaah di sekolah, menegakkan disiplin, membudayakan senyum, sapa dan salam, membudayakan kebersihan, dan sebagainya. Artinya, setiap guru dan komponen sekolah harus berupaya menjadi teladan bagi peserta didik dalam hal pengamalan ajaran agama. Selain itu, kerja sama juga diperlukan dalam menerapkan regulasi/aturan-aturan yang telah dibuat sebagaimana yang telah disinggung di atas. Dengan demikian, mengamalkan ajaran agama sejatinya tidak hanya tugas dan tanggung jawab guru agama an sich, akan tetapi tanggung jawab bersama guru-guru, pegawai serta komponen lainnya yang terlibat langsung di sekolah, khususnya yang beragama Islam dalam menerapkan ajaran Islam.

Keempat, PAI harus mampu mewarnai mata pelajaran lain. Kemampuan PAI dalam mewarnai mata pelajaran lain diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berbasiskan agama, tentu dilakukan oleh guru yang beragama Islam. Artinya setiap guru yang beragama Islam, meskipun mengasuh mata pelajaran selain PAI, seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris, dan sebagainya diharapkan mampu mengajarkannya dengan pendekatan agama. Hal ini bisa dilakukan, mengingat seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah pada dasarnya termasuk dalam kategori pendidikan Islam. Bahkan al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam, mengandung isyarat-isyarat ilmiah serta beragam ilmu pengetahuan, termasuk berbagai ilmu yang berkembang dewasa ini. Karenanya, guru mata pelajaran selain PAI tersebut diharapkan mampu menggali isyarat-isyarat al-Qur'an tersebut lalu mengintegrasikannya dalam pembelajaran materi yang dibimbingnya. Kemudian guru-guru yang beragama Islam itu pun pada dasarnya telah mengetahui konsep-konsep ajaran Islam, meskipun dalam bentuk ilmu dasar.

Kelima, partisipasi perguruan tinggi umum (PTU) dalam mempersiapkan guru berwawasan agama sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya. Selama ini, PAI di PTU hanya dalam bentuk Mata Kuliah Umum (MKU) dengan materi-materi dasar keislaman. Sebaiknya, di samping PAI sebagai MKU, materi PAI yang berkenaan dengan spesifikasi keilmuan masing-masing fakultas/jurusan juga patut diberikan. Khususnya fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, masing-masing jurusan diberikan pula mata kuliah PAI yang sesuai dengan materi jurusannya masing-masing. Dengan begitu, diharapkan mereka memiliki wawasan ilmu keislaman sesuai dengan spesifikasi keilmuan yang dimilikinya sehingga kelak menjadi bekal baginya sebagai guru mata pelajaran di sekolah untuk menerapkan pembelajaran berbasis agama. Partisipasi PTU seperti ini sangat diharapkan untuk memenuhi upaya keempat di atas. 

Dengan upaya seperti ini, peran PAI di sekolah umum di harapkan semakin jelas dan tegas dalam mewujudkan peserta didik yang mampu menerapkan ajaran agama dengan baik serta memiliki ilmu pengetahuan. Agama tidak hanya dipahami sebagai ajaran yang menentramkan dimensi spiritualitas manusia, akan tetapi agama (baca: Islam) sejatinya menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia secara komprehensif, holistik, dan universal, termasuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ketika ilmu dimiliki dan dikembangkan berlandaskan kepada ajaran agama Islam, niscaya ilmu itu akan mendatangkan manfaat dan terhindar dari mudharat. Akhirnya bangsa ini pun dapat tampil lebih terhormat dan bermartabat serta mampu tampil terdepan, 

pentingnya pendidikan


Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita,ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk selalu berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Sehingga menjadi seorang yang terdidik itu sangat penting. Pendidikan pertama kali yang kita dapatkan di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat.
Seorang anak yang disayangi akan menyayangi keluarganya ,sehingga anak akan merasakan bahwa anak dibutuhkan dalam keluarga. Sebab merasa keluarga sebagai sumber kekuatan yang membangunya.Dengan demikian akan timbul suatu situasi yang saling membantu,saling menghargai,yang sangat mendukung perkembangan anak.Di dalam keluarga yang memberi kesempatan maksimum pertumbuhan,dan perkembangan adalah orang tua.Dalam lingkungan keluarga harga diri berkembang karena dihargai,diterima,dicintai,dan dihormati sebagai manusia .Itulah pentingnya mengapa kita menjadi orang yang terdidik di lingkungan
keluarga.Orang tua mengajarkan kepada kita mulai sejak kecil untuk menghargai orang lain.
Sedangkan di lingkungan sekolah yang menjadi pendidikan yang kedua dan apabila orang tua mempunyai cukup uang maka dapat melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi dan akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi kemudian menjadi seorang yang terdidik . Alangkah pentingnya pendidikan itu. Guru sebagai media pendidik memberikan ilmunya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Peranan guru sebagai pendidik merupakan peran  memberi bantuan dan dorongan ,serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak  agar anak dapat mempunyai rasa tanggung jawab dengan apa yang dia lakukan. Guru juga harus berupaya agar pelajaran yang diberikan selalu cukup untuk menarik minat anak .
Selain itu peranan lingkungan masyarakat juga penting bagi anak  didik . Hal ini berarti memberikan gambaran tentang bagaimana kita hidup bermasyarakat.Dengan demikian bila kita berinteraksi dengan masyarakat maka mereka akan menilai kita,bahwa  tahu mana orang yang terdidik,dan  tidak terdidik. Di zaman Era Globalisasi diharapkan generasi muda bisa mengembangkan ilmu yang didapat sehingga tidak ketinggalan dalam perkembangan zaman. Itulah pentingnya menjadi seorang yang terdidik baik di lingkungan Keluarga,Sekolah,dan Masyarakat.

problem solving


Pernah merasa ga?kita seperti menghadapi masalah yang itu-itu ajh, rasanya masalah itu seperti berputar –putar di hal yang sama.. menurut saya setiap orang pasti pernah merasakannya, awas lo jangan sampai di biarkan karena hal ini jika di biarkan berlarut-larut akan menimbulkan gangguan kejiwaan, salah satu ciri orang yang sehat secara kejiwaan biasanya mereka lebih peka atau mampu mengtasi masalah yang ada dalam dirinya, karena kebanyakan dari kita adalah bisa memecahankan masalah orang lain, sedangkan memecahkan masalahnya tidak bisa. Kuncinya  “Jika seseorang sudah mampu memecahkan masalah yang ada di dalam dirinya terlebih dahulu maka kemungkinan orang tersebut akan terhindar dari strez dan defresi” .
Nah Kemampuan mememecahan masalah ini yang harus kita miliki, karena seperti yang sudah di jelaskan tadi hal ini sangat berkaitan erat dengan kesehatan jiwa kita dan kesehatan jiwa erat  pula kaitannya dengan ketenangan jiwa kita loh. Dan dalam ajaran Islam sebenarnya pemecahan masalah itu sudah di jelaskan dalam Al-Qur’an, sedikit shering yu..
1. Menyakini bahwa masalah itu sebenranya adalah cara Tuhan untuk menguji hambanya, kenapa manusia di uji?karena Tuhan ingin tahu sampai dimana kadar keimanan kita. Lalu setelah di uji maka akan muncul di dalam diri kita sebuah kesadaran bahnya diri kita adalah hamba yang lemah tanpa pertolongannya. Tuhan tidak pernah memberikan masalah kepada hambanya tanpa dia memberikan solusinya.
2. Kita harus  tahu apa yang menyebabkan masalah itu terjadi, sejak kapan munculnya dan kenapa bisa terjadi?jika sudah tahu permasalahannya, apakah kita akan menganggap masalah itu besar atau kecil tergantung kita loh sebenarnya, dan kita sadar bahwa hidup itu pilihan.
3. Hal yang sering saya lakukan adalah menuliskan masalah yang sedang saya hadapi, dan jika di kira masalah itu sulit di selesaikan terkadang saya tidak memfokuskan diri terhadap masalh yang sedang di hadapi atau sering saya sebut proses pengalihan diri dan melakukan kesibukan yang lain..saya menempelkan kata-kata yang memotifasi diri di dinding kamar saya, jadi ketika saya sedang di hadapi kepada permasalahn saya selalu di sadarkan dengan tulisan itu dan ini menurut saya sangat penting.
4. Ketika kita sudah memilih untuk memecahkan masalah, laksanakan dan konsisten
5. Menanamkan “Kesadaran diri” dengan memperbaiki diri kita, karena jika kita memfokuskan kepada masalah kita, masalah bukan malah selesai, akan tetapi akan tambah rumit. Fokuslah ke dalam diri, ini lebih kepada intropeksi, dan menyadari bahwa hidup itu adalah fokus menempuh perjalanan spiritual bukan pada masalahnya (Pasrah Total) “Barang siapa focus terhadapa materi atau masalah, maka Allah akan terus menguji kita dengan hal itu. Dan jika kita sudah perasa optimal dengan apa yang kita lakuakn saya yakin penyesalan itu tidak akan datang.
Hidup bagi saya adalah sebuah penerimaan, apapun yang Tuhan berikan baik itu rasa sakit, atau masalah yang bertubi-tubi saya yakin itu adalah yang terbaik, karena sering kali kita melihat benang yang kusut berantakan di hadapan kita padahal dari benang yang kusut itu sebenarnya Tuhan  sedang merajut lukisan yang indah..dan kesadaran diri kitalah yang harus di munculkan bahwa kehidupan baik itu bukan baik menurut apa yang kita lihat, tapi menurut ketentuan.Nya..duh sebenarnya tulisan ini sama seperti menampar saya. Kita sering merintih bahwa yang apa yang inginkan itu adalah yang terbaik, padahal apakah kita tahu tentang kisah nabi Musa yang bertemu dengan Zulkarnai (Kisah ini di ceritanakn dalam Al-Quran Surat Al-Kahf ayat 66:82)  sedikit menyimpulkan bahwa kita tak pernah Tahu Rahasia Tuhan, dan Tuhan tak pernah menyuruh kita untuk memikirkan masalah yang kita hadapi sampai kita penat Tuhan hanya menyuruh kita shalat dengan khusyu dan sabar itulah kiranya yang harus kita lakukan. Barang siapa yang merasa cukup maka Allah akan mencukupinya dan barang siapa yang sabar Allah akan membuatnya sabar, seseorang tidak di beri suatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran (HR. Muslim)
Kata-kata yang sering saya ingat adalah”Belum di bilang sabar klo masih ada batas dan belum di bilang ikhlas, klo masih ada rasa sakit”
*tapi ini hanya pandangan dan penilan saya, ketika saya di hadapkan kepada masalah, hanya sedikit ingin shering saja, smoga bisa saling mengingatkan…

kepemimpinan


Di dalam konsep (manhaj) Islam, pemimpin merupakan hal yang sangat final dan fundamental. Ia menempati posisi tertinggi dalam bangunan masyarakat Islam. Dalam kehidupan berjama'ah, pemimpin ibarat kepala dari seluruh anggota tubuhnya. Ia memiliki peranan yang strategis dalam pengaturan pola (minhaj) dan gerakan (harakah). Kecakapannya dalam memimpin akan mengarahkan ummatnya kepada tujuan yang ingin dicapai, yaitu kejayaan dan kesejahteraan ummat dengan iringan ridho Allah (Qs. 2 : 207).
Dalam bangunan masyarakat Islami, pemimpin berada pada posisi yang menentukan terhadap perjalanan ummatnya. Apabila sebuah jama'ah memiliki seorang pemimpin yang prima, produktif dan cakap dalam pengembangan dan pembangkitan daya juang dan kreativitas amaliyah, maka dapat dipastikan perjalanan ummatnya akan mencapai titik keberhasilan. Dan sebaliknya, manakala suatu jama'ah dipimpin oleh orang yang memiliki banyak kelemahan, baik dalam hal keilmuan, manajerial, maupun dalam hal pemahaman dan nilai tanggung jawab, serta lebih mengutamakan hawa nafsunya dalam pengambilan keputusan dan tindakan, maka dapat dipastikan, bangunan jama'ah akan mengalami kemunduran, dan bahkan mengalami kehancuran (Qs. 17 : 16)
"Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah (kaum elit dan konglomerat) di negeri itu (untuk menaati Allah), akan tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs. 17 : 16)
Oleh karena itulah, Islam memandang bahwa kepemimpinan memiliki posisi yang sangat strategis dalam terwujudnya masyarakat yang berada dalam Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur (Qs. 34 : 15), yaitu masyarakat Islami yang dalam sistem kehidupannya menerapkan prinsip-prinsip Islam. Begitu pentingnya kepemimpinan atau imam dalam sebuah jama'ah atau kelompok, sampai-sampai Rasulullah bersabda yang maksudnya:
"Apabila kamu mengadakan perjalanan secara berkelompok, maka tunjuklah salah satunya sebagai imam (pemimpin perjalanan)."
Demikian juga jika kita lihat dalam sejarah Islam (Tarikh Islam) mengenai pentingnya kedudukan pemimpin dalam kehidupan ummat muslim. Kita lihat dalam sejarah, ketika Rasulullah saw. wafat, maka para shahabat segera mengadakan musyawarah untuk menentukan seorang khalifah. Hingga jenazah Rasulullah pun harus tertunda penguburanya selama tiga hari. Para shahabat ketika itu lebih mementingkan terpilihnya pemimpin pengganti Rasulullah, karena kekhawatiran akan terjadinya ikhlilaf (perpecahan) di kalangan ummat muslim kala itu. Hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah yang pertama setelah Rasulullah saw. wafat.
Dalam perspektif Islam, ada beberapa komponen yang menjadi persyaratan terwujudnya masyarakat Islami, yaitu :
Adanya wilayah teritorial yang kondusif (al-bi'ah, al-quro)
Adanya ummat (al-ummah)
Adanya syari'at atau aturan (asy-syari'ah)
Adanya pemimpin (al-imamah, amirul ummah)
Pemimpin pun menjadi salah satu pilar penting dalam upaya kebangkitan ummat. Islam yang telah dikenal memiliki minhajul hayat (konsep hidup) paling teratur dan sempurna dibandingkan konsep-konsep buatan dan olahan hasil rekayasa dan imajinasi otak manusia, telah menunjukkan nilainya yang universal dan dinamis dalam penyatuan seluruh komponen ummat (Qs. 21 : 92).
Ada empat pilar kebangkitan ummat, yang kesemuanya saling menopang dan melengkapi, yaitu :
Keadilan para pemimpin (umaro)
Ilmunya para ‘ulama
Kedermawanan para aghniya (orang kaya)
Do'anya orang-orang faqir (miskin)
Definisi Pemimpin
Ada beberapa istilah yang mengarah kepada pengertian pemimpin, diantaranya :
Umaro atau ulil amri yang bermakna pemimpin negara (pemerintah)
Amirul ummah yang bermakna pemimpin (amir) ummat
Al-Qiyadah yang bermakna ketua atau pimpinan kelompok
Al-Mas'uliyah yang bermakna penanggung jawab
Khadimul ummah yang bermakna pelayan ummat
Dari beberapa istilah tadi, dapat disimpulkan bahwa pemimpin adalah orang yang ditugasi atau diberi amanah untuk mengurusi permasalahan ummat, baik dalam lingkup jama'ah (kelompok) maupun sampai kepada urusan pemerintahan, serta memposisikan dirinya sebagai pelayan masyarakat dengan memberikan perhatian yang lebih dalam upaya mensejahterakan ummatnya, bukan sebaliknya, mempergunakan kekuasaan dan jabatan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada, baik SDM maupun SDA, hanya untuk pemuasan kepentingan pribadi (ananiyah) dan kaum kerabatnya atau kelompoknya (ashobiyah).
Kriteria dalam Menentukan Pemimpin
Jika kita menyimak terhadap perjalanan siroh nabawiyah (sejarah nabi-nabi) dan berdasarkan petunjuk Al-Qur'an (Qs. 39 : 23) dan Al-Hadits (Qs. 49 : 7), maka kita dapat menyimpulkan secara garis besar beberapa kriteria dalam menentukan pemimpin.
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
a. Faktor Keulamaan
- Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah.
- Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
- Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
- Berdasarkan Qs. 16 : 43, maka seorang pemimpin haruslah ahlu adz-dzikri (ahli dzikir) yaitu orang yang dapat dijadikan rujukan dalam menjawab berbagai macam problema ummat.
b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)
- Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
- Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabda :
"Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan.
- Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
- Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."
c. Faktor Kepeloporan
- Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam.
- Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
- Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
- Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
- Berdasarkan Qs. 3 : 110, sebagai khoiru ummah (manusia subjek) maka seorang pemimpin haruslah orang yang selalu menyeru kepada yang ma'ruf, mencegah dari perbuatan yang mungkar, dan senantiasa beriman kepada Allah.
d. Faktor Keteladanan
- Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
- Berdasarkan Qs. 33 : 21, maka seorang pemimpin haruslah menjadikan Rasulullah sebagai teladan bagi dirinya. Sehingga, meskipun tidak akan mencapai titik kesempurnaan, paling tidak ia mampu menampilkan akhlaq yang baik layaknya Rasulullah.
- Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
- Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e. Faktor Manajerial (Management)
- Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
- Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya.
- Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya. Wallahu a'lam bish-showwab
(Sumber : Al Qur'an Al Karim)

Jumat, 17 Mei 2013

fisika... oh fisika.....

Salah satu materi pelajaran atau mata kuliah yang paling dibenci sebagian besar pelajar atau mahasiswa adalah belajar fisika. Bagi siswa atau mahasiswa tidak akan terlepas dari belajar fisika kecuali dia tidak mengambil jurusan eksak. Namun perlu diingat bahwa jurusan eksak merupakan langkah awal untuk memasuki dunia ilmiah. Dunia untuk memahami rahasia alam. Jadi untuk memahami kehidupan dan segala yang berkaitan di dalamnya tidak terlepas dari ilmu fisika.
Siapakah yang pertama sekali memulai fisika, tidak seorangpun tahu. Dari ribuan bahkan ratusan juta tahun yang lalu fisika sudah dipelajari orang. Terbukti dari banyaknya ahli fisika di seluruh jagat raya ini. Tokoh fisika yang sangat berpengaruh dalam mengubah dunia misalnya Galileo Galilei yang dilahirkan pada tanggal 15 Januari 1564 di kota Pisa, Italia. Temuannya yang paling fenomenal adalah teleskop. Galileo dianggap sebagai salah satu penyumbang terbesar bagi dunia sains modern. Demikian juga Albert Einstein yang dilahirkan di Ulm, Wurttemberg, Jerman pada tanggal 14 Maret 1879. Ia adalah ahli fisika teori terbesar abad ke-20, seorang doktor, guru besar, pengarang, penemu teori relativitas khusus dan teori relativitas umum yang dirumuskan dalam persamaan matematisnya yang sangat terkenal E = mc2.

Bagi sebagian besar masih mungkin bertanya : apa tujuan kita belajar fisika? Pertanyaan tersebut wajar bagi orang pemula yang baru masuk belajar fisika. Perlu diketahui bahwa tujuan kita belajar fisika memang sangat banyak sekali tergantung ke arah mana kita mendalaminya. Karena fisika itu sendiri cukup luas cakupannya. Pertama belajar merupakan suatu upaya untuk tahu, faham dan mengerti dari yang belum tahu. Nah setelah itu kita mungkin mengarah ke sejumlah pilihannya untuk apa sejumlah pengetahuan itu dan cara kerja ilmu fisika itu kita gunakan.
Secara sederhana tujuan kita belajar fisika adalah :
  1. Untuk memahami ilmu fisika sesuai kedalaman mata pelajaran atau mata kuliah.
  2. Untuk bisa berkarya dan berinovasi bagi ilmu fisika seperti melakukan penelitian.
  3. Untuk bisa menerapkan fisika dan mengimplementasikan ke bidang lain.
  4. Untuk menjadi guru fisika atau dosen fisika.
a. Untuk memahami ilmu fisika sesuai kedalaman mata pelajaran atau mata kuliah.
Sebagai pelajar yang mempelajari fisika tentu agar bisa memahami kompetensi yang dimuat dalam standar isi sehingga jika menghadapi ulangan dan ujian akhir mendapat nilai tinggi. Bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah fisika atau yang terkait dengan fisika tentu agar bisa memahami materi yang termuat dalam sistem kredit semester sehingga setelah ujian semester mendapat nilai A atau B.
b. Untuk bisa berkarya dan berinovasi bagi ilmu fisika seperti melakukan penelitian.
Ilmu fisika yang kita pelajari merupa-kan hasil kerja sama para pengembangnya di seluruh dunia. Siapa saja, di mana saja, dan kapan saja, seorang pecinta fisika boleh menyumbangkan sesuatu bagi ilmu ini. Ada yang menyumbang dalam bentuk penemuan gejala atau peri laku alam baru, ada yang menyumbang gagasan untuk lebih mema-hami keterkaitan antara rangkaian gelaja dan atau perilaku alam yang sudah diketahui, bahkan ada pula yang berspekulasi meramal-kan gejala atau perilaku alam yang baru berdasarkan penalaran lebih lanjut dari gaga-san yang telah teruji kebenarannya.
Berkarya untuk ilmu fisika menuntut kita untuk selalu mengetahui apa saja yang sampai kini sudah disumbangkan oleh para pengembang fisika lainnya, yang berdomisili terserak di seluruh penjuru dunia. Kita harus punya saluran komunikasi yang dapat memberikan informasi mutakhir. Komu-nikasi terbaik tentunya terjadi kalau kita sendiri dapat berada bersama dengan tokoh-tokoh pegembang utama, yang lazimnya bermukim di pusat-pusat pengembangan yang sudah membuktikan keunggulan prestasinya. Komunikasi langsung dengan pengembang fisika memungkinkan kita untuk berdiskusi timbal balik, medengar dari tangan pertama suka duka pergumulan dalam menjelajahi penelitian fisika. Jangan lupa, apa yang muncul di jurnal fisika adalah himpunan sejarah sukses (success story), tidak memuat informasi tentang jalur-jalur penelitian yang sudah cukup lama digarap tetapi tetap buntu.
Kekayaan ilmu fisika saat ini sudah begitu besarnya, sehingga rasanya mustahil bagi seseorang untuk dapat menampung seluruh ilmu itu di dalam benaknya. Seorang pengembang cukup puas dengan hanya mengikuti satu atau beberapa jalur perkembangan fisika. Pada dasarnya, fisika adalah ilmu yang kebenarannya dihakimi oleh pengamatan. Suasana berkarya akan menjadi semarak apabila peralatan yang sanggup mengungkap aspek-aspek fisika yang digarap itu terdapat ditempat yang sama. Dengan kata lain, diperlukan fasilitas dan tenaga yang memudahkan interaksi antara eksperimen dan teori yang dapat digarap ditempat yang sama.
c. Untuk bisa menerapkan fisika dan mengimplementasikan ke bidang lain.
Pengetahuan tentang gejala dan perilaku alam yang dihimpun dalam ilmu fisika telah banyak digunakan untuk mem-bantu profesi lain, seperti profesi di bidang rekayasa, pertanian, dan kedokteran. Fisika sering dimasukkan dalam katagori ilmu dasar. Maksudnya, untuk dapat menjadi dokter, insinyur diperlukan sejumlah penge-tahuan fisika sebagai basis pemahaman ilmu yang berkaitan dengan profesinya. Ilmu yang berkaitan dengan profesi tersebut berkem-bang tarus. Misalnya, ilmu kedokteran telah menerapkan cara pengobatan dengan radiasi, berkas laser digunakan untuk pembedahan. Pengetahuan fisika yang diperlukan untuk menangani hal ini jelas bukan lagi apa yang dulu disebut fisika dasar. Artinya diperlukan tenaga-tenaga yang sudah jauh belajar tentang fisika ilmu fisika.
Keakraban ilmu fisika dengan profesi di bidang rekayasa tentunya jauh lebih dalam lagi. Tengok saja apa yang terjadi setelah prinsip laser ditemukan oleh ilmu fisika beberapa tahun beselang. Produk-produk teknologi baru yang menggunakan laser bermunculan, seperti: alat pemotong baja, pengarah dalam pemetaan, kaset vidio dan audio, printers, dst.
d. Untuk menjadi guru fisika atau dosen fisika.
Guru merupakan penyambung untuk mewariskan ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ia memang bukan pembuat ilmu, tetapi ia dituntut untuk tahu benar tentang ilmu yang ingin dipindah tangankan ke generasi muda. Sebab jika tidak, kita khawatir bahwa yang diwariskan adalah hal-hal yang keliru sehingga arti pewarisan itu menjadi tidak bermakna. Di samping memiliki pengetahuan yang benar tentang ilmu fisika, iapun perlu memperlajari teknik komunikasi. Sebaiknya teknik komu-nikasi tidak hanya satu corak, sebab yang belajar fisika adalah orang-orang yang bermacam-macam pembawaannya. Pengem-bangan alternatif teknik komunikasi maru-pakan bagian dari kehidupan profesinya sebagai guru fisika.