Kehidupan seseorang pada umunya penuh dengan dorongan dan minat untuk mencapi atau memiliki sesuatu.Sebarapa banyak dorongan-dorongan dan minat-minat yang dimilikinya meruapakan dasar pengalamn emosionalnya. Perjalanan kehidupan sesorang tidak sama. Keinginan dan minat yang berbeda-beda dimiliki oleh setiap individu menurut pola hidupnya masing-masing. Selain itu jalan atau cara yang dilakukan untuk memwujudkan minat dan keinginan yang didorong oleh emosional itu berbeda satu sama lain.
Seseorang yang pola kehidupannya
berlangsung mulus, di mana dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan atau
minatnya dapat terpenuhi atau dapat berhasil dicapai, karena cenderung memiliki
perkembangan emosi yang stabil dan dengan demikian dapat menikmati hidupnya.
Hal itu juga didukung dengan nilai, sikap dan moral yang ke arah positif.
Sedangkan bagi pola kehidupan
yang tidak berlangsung dengan mulus atau terdapat hambatan yang membuatnya
tidak terlalu menikmati hidupnya, karena emosionalnya tidak stabil. Sehingga
nilai, moral dan sikapnya terkadang cenderung ke arah negatif.
Hubungan anatar emosiona dengan
nilai, moral dan sikap adaah dorongan emosional dapat mempengaruhi
pemikiran-pemikiran dan tingkah lakunya. Karena itu, seseorang individu
dalam merespon sesuatu lebih banyak dia arahkan oleh penalaran dan
pertimbangan-pertimbangan yang objektif.
Penjelasan di atas menjelaskan
tentang bagaimana keterkaitan emosioanal pada tingkah laku yang akan dilakukan.
Untuk lebih jelas mengenai perkembangan emosional, makalah ini akan membahas
bagaimana perkembangan emosional dan keterkaitan antara nilai, sikap dan moral
yang mencangkup pada makalah yang berjudul “Emosi”.
Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari
bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Menurut Daniel Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk
bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan
dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana
hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih
mendorong seseorang berperilaku menangis.
Menurut Chaplin (1989)
dalam Dictionary of psychology, emosi adalah sebagai suatu keadaan yang
terangsang dari organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang
mendalam sifatnya dari perubahan perilaku. Chaplin (1989) membedakan emosi
dengan perasaan, parasaan (feelings) adalah pengalaman disadari yang diaktifkan
baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah.
Menurut Crow & Crow
(1958), emosi adalah "an emotion, is an affective experience that
accompanies generalized inner adjustment and mental and physiological stirredup
states in the individual, and that shows it self in his evert behaviour".
Jadi, emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan
fisik.
Menurut Hurlock (1990),
individu yang dikatakan matang emosinya yaitu:
a. Dapat melakukan kontrol
diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu
mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau
membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang
dapat diterima secara sosial.
b. Pemahaman diri. Individu
yang matang, belajar memahami seberapa banyak kontrol yang dibutuhkannya untuk
memuaskan kebutuhannya dan sesuai dengan harapan masyarakat
c. Menggunakan kemampuan
kritis mental. Individu yang matang berusaha menilai situasi secara kritis
sebelum meresponnya, kemudian memutuskan bagaimana cara bereaksi terhadap
situasi tersebut.
Kematangan emosi (Wolman
dalam Puspitasari, 2002) dapat didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai oleh
perkembangan emosi dan pemunculan perilaku yang tepat sesuai dengan usia dewasa
dari pada bertingkahlaku seperti anak-anak. Semakin bertambah usia individu
diharapkan dapat melihat segala sesuatunya secara obyektif, mampu membedakan
perasaan dan kenyataan, serta bertindak atas dasar fakta dari pada perasaan.
Menurut Kartono (1988)
kematangan emosi sebagai kedewasaan dari segi emosional dalam artian individu
tidak lagi terombang ambing oleh motif kekanak- kanakan. Chaplin (2001)
menambahkan emosional maturity adalah suatu keadaan atau kondisi mencapai
tingkat kedewasaan dari perkembangan emosi dan karena itu pribadi yang
bersangkutan tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas.
Smith (1995) mendefinisikan
kematangan emosi menghubungkan dengan karakteristik orang yang berkepribadian
matang. Orang yang demikian mampu mengekspresikan rasa cinta dan takutnya
secara cepat dan spontan. Sedangkan pribadi yang tidak matang memiliki kebiasaan
menghambat perasaan- perasaannya. Sehingga dapat dikatakan pribadi yang matang
dapat mengarahkan energi emosi ke aktivitas-aktivitas yang sifatnya kreatif dan
produktif. Senada dengan pendapat di atas Covey (dalam Puspitasari, 2002)
mengemukakan bahwa kematangan emosi adalah kemampuan untuk mengekspresikan
perasaan yang ada dalam diri secara yakin dan berani, diimbangi dengan
pertimbangan-pertimbangan akan perasaan dan keyakinan individu lain.
Menurut pandangan Skinner
(1977) esensi kematangan emosi melibatkan kontrol emosi yang berarti bahwa
seseorang mampu memelihara perasaannya, dapat meredam emosinya, meredam balas
dendam dalam kegelisahannya, tidak dapat mengubah moodnya, tidak mudah berubah
pendirian. Kematangan emosi juga dapat dikatakan sebagai proses belajar untuk
mengembangkan cinta secara sempurna dan luas dimana hal itu menjadikan reaksi
pilihan individu sehingga secara otomatis dapat mengubah emosi-emosi yang ada
dalam diri manusia (Hwarmstrong, 2005).
“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa emosi adalah suatu
respons terhadap suatu perangsang yang menyebabkan perubahan fisiologis
disertai perasaan yang kuat dan biasanya mengandung kemungkinan untuk meletus”
Faktor-faktor yang mempengaruhi emosi
1.
Faktor Internal
Umumnya emosi seseorang muncul berkaitan erat dengan apa yang
dirasakan seseorang secara individu. Mereka merasa tidak puas, benci terhadap
diri sendiri dan tidak bahagia. Adapun gangguan emosi yang mereka alami antara
lain adalah:
a.Merasa tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka secara layak
sehingga timbul ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa yang mereka
alami.
b.Merasa dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan tidak diterima
oleh siapapun termasuk orang tua mereka.
c.Merasa lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina serta
dipatahkan dari pada disokong, disayangi dan ditanggapi, khususnya ide-ide
mereka.
d.Merasa tidak mampu atau bodoh.
e.Merasa tidak menyenangi kehidupan keluarga mereka yang tidak
harmonis seperti sering bertengkar, kasar, pemarah, cerewet dan bercerai.
f. Merasa menderita karena iri terhadap saudara karena disikapi
dan dibedakan secara tidak adil.
2. Faktor eksternal
Menurut Hurlock (1980) dan Cole (1963) faktor
yang mempengaruhi emosi negatif adalah berikut ini.
a.Orang tua atau guru memperlakukan mereka seperti anak kecil yang
membuat harga diri mereka dilecehkan.
b. Apabila dirintangi, anak membina keakraban dengan lawan jenis.
c.Terlalu banyak dirintangi dari pada disokong,
misalnya mereka lebih banyak disalahkan, dikritik oleh orang tua atau guru,
akan cenderung menjadi marah dan mengekspresikannya dengan cara menentang
keinginan orang tua, mencaci maki guru, atau masuk geng dan bertindak merusak
(destruktif).
d.Disikapi secara tidak adil oleh orang tua,
misalnya dengan cara membandingkan dengan saudaranya yang lebih berprestasi dan
lainnya.
e. Merasa kebutuhan tidak dipenuhi oleh orang
tua padahal orang tua mampu.
f. Merasa disikapi secara otoriter, seperti
dituntut untuk patuh, banyak dicela, dihukum dan dihina.
Perkembangan Moral, Nilai dan Sikap
Pengertian Nilai
Dalam kamus bahasa
Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut Spranger, nilai
diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu.
Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan
berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan
konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger
tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif”
(subjective spirit) dan kekuatan nilai-nilai budaya
merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan
berkembang manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif
terbentuk dan berkembang dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan
sebagai cita-cita yang harus dicapai.
Menurut Harrocks, Nilai
merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai.
Dalam buku psikologi perkembangan peserta didik oleh
Prof. Sinolungan mengatakan nilai adalah suatu yang diyakini kebenarannya,
dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta diwujudkan dalam sikap atau
perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang menuntut
diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan.
Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha
menjaga tutur kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan
yang buruk. Dengan kata lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu,
kemudian dihayati dan didorong oleh moral, baru kemudian akan terbentuk sikap
tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.
Secara dinamis, nilai
dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan diinternalisasikan oleh
individu serta diterima sebagai milik bersama dengan kelompoknya. Nilai
merupakan standar konseptual yang relatif stabil dan emplisit membimbing
individu dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai serta aktivitas dalam
rangka memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Pengertian Moral
Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang
artinya tata cara dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral
adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana
yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan pranata yang mengatur
perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan masyarakat.
Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai
anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang
dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang.
Perilaku moral diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh
keteraturan, ketertiban, dan keharmonisan.
Perubahan pokok dalam moralitas selama masa remaja terdiri dari
mengganti konsep-konsep moral khusus dengan konsep-konsep moral tentang benar
dan salah yang bersifat umum, membangun kode moral berdasarkan pada
prinsip-prinsip moral individual, dan mengendalikan perilaku melalui
perkembangan hati nurani.
Pengertian Sikap
Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional
yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap
merupakan variabel laten yang mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku.
Sikap tidak identik dengan respons dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati
secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari konsistensi perilaku yang dapat
diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam bentuk kata-kata
atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek, baik
berupa orang, peristiwa, atau situasi.
Menurut Chaplin (1981)
dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan
pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat
kultural, familiar, dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa
sikap-sikap itu akan berlaku dalam suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat
individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap kolektif (collective attitude)
yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat tertentu. Sebagian
besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur
keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang
selaku orang dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli
psikologi sosial bahkan percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu
adalah propaganda dan sugesti dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan
lembaga-lembaga lainnya yang secara sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap
dan perilaku individu
Perkembangan Nilai,
Moral dan Sikap
Menurut Danel Susanto,
pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh
beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:
1. Perubahan fisik
Pada masa remaja terjadi
pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar
yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan
berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak
pada diri remaja.
2.
Perubahan intelek
Menurut perkembangan
kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa
konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional,
seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang
bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir
se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada
masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.
3. Perubahan emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi
labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall,
perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada
kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya
menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa
pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih
besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.
4. Perubahan sosial
Pada masa remaja,
seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak.
Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga
menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap
dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung
untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang
baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi
kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh
keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok
remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja
untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan
sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka
menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi
mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.
5.
Perubahan moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari
luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral
khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang
remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat
melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang
juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar,
sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku,
tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa
remaja berakhir.
Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg
Makna Perkembangan Moral
Perkembangan
sosial merupakan proses perkembangan kepribadian siswa selaku seorang anggota
masyarakat dalam berhubungan dengan orang lain. Perkembangan ini berlangsung
sejak masa bayi hingga akhir hayat. Perkembangan merupakan suatu proses
pembentukan social self (pribadi dalam masyarakat), yakni pembentukan pribadi
dalam keluarga, bangsa dan budaya. Perkembangan sosial hampir dapat dipastikan
merupakan perkembangan moral, sebab perilaku moral pada umumnya merupakan unsur
fundamental dalam bertingkah laku sosial. Seorang siswa hanya akan berperilaku
sosial tertentu secara memadahi apabila menguasai pemikiran norma perilaku
moral yang diperlukan untuk menguasai pemikiran norma perilaku moral yang
diperlukan.
Seperti dalam proses
perkembangan yang lannya, proses perkembangan sosial dan moral selalu berkaitan
dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial
sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial), baik
dilingkungan sekolah, keluarga, maupun di lingkungan masyarakat. Hal ini
bermakna bahwa proses belajar sangat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan
berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral
hukum, dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam dunia psikologi
belajar terdapat aneka ragam mazhab (aliran pemikiran) yang berhubungan dengan
perkembangan moral. Diantara ragam mazhab perkembangan sosial ini paling
menonjol dan layak dijadikan rujukan adalah :
1. Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
1. Aliran teori cognitive Psychology dengan tokoh utama Jean Piaget dan Lawrence Kohlberg.
2. Aliran
teori Social Learning dengan tokoh utama Albert. Bandura dan R.H Walters.
Pada tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitia yang mana pada penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg.
Pada tokoh-tokoh psikologi tersebut telah banyak melakukan penelitia yang mana pada penelitiannya setiap tahapan perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Salah satu teori perkembangan moral adalah teori menurut Kohlberg.
Teori Perkembangan Moral Menurut Kohlberg.
Menurut
teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama
pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Dalam Teori Kohlberg
mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan
Piaget. Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan
wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi
serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral.
Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
” Di Eropa
seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat
yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium
yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya
membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X
lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia
membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke
setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat
mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu
apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual
obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi
sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan
uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk
mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini
adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk
menginvestigasi hakekat pemikiran moral. Setelah membaca cerita, anak-anak yang
menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.
Haruskah Heinz mencuri obat? Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah?
Pataskah perkembangan suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan
penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral
ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg
menyimpulkan terdapat 3 tingkat moral, yang masing-masing ditandai oleh 2
tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan
Nilai, Moral, dan Sikap
1.Faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup
aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi,
pola kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam
lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan
nilai, moral dan sikap individu yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.
2.Lingkungan Keluarga
Keluarga sebagai lingkungan pertama yang
mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap seseorang. Biasanya tingkah
laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya. Orang-orang yang tidak
memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa kecil, kemungkinan
besar mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga mereka bias menjadi
orang yang sering melakukan pelanggaran norma.
3.Lingkungan Sekolah
Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang
berlaku di masyarakat sehingga mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang
baik dan boleh dilakukan. Tentunya dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung
menjadikan guru sebagai model dalam bertingkah laku, oleh karena itu seorang
guru harus memiliki moral yang baik.
4.Lingkungan Pergaulan
Dalam pengembangan kepribadian, factor
lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi nilai, moral dan sikap seseorang.
Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba suatu hal yang baru.
Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan terkadang
seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.
5.Lingkungan Masyarakat
Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang
penting terhadap pembentukan moral. Tingkah laku yang terkendali disebabkan
oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri yang mempunyai sanksi-sanksi
tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.
6.Teknologi
Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga
memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya suatu nilai. Di era sekarang,
remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun hiburan. Contoh:
internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat
diakses secara langsung.
Nilai positifnya, ketika
remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan mereka dapat
mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative seperti
tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa
remaja memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap
informs seperti itu. Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang
akhirnya akan menimbulkan berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan
hamil di luar nikah/hamil usia dini.
Remaja yang tumbuh dan berkembang dalam
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat yang penuh rasa aman secara
psikologis, pola interaksi yang demokratis, pola asuh bina kasih, dan religius
dapat diharapkan berkembang menjadi remaja yang memiliki budi luhur, moralitas
tinggi, serta sikap dan perilaku terpuji. Sebaliknya individu yang tumbuh dan
berkembang dengan kondisi psikologis yang penuh dengan konflik, pola interaksi
yang tidak jelas, pola asuh yang tidak berimbang dan kurang religius maka
harapan agar anak dan remaja tumbuh dan berkembang menjadi individu yang
memiliki nilai-nilai luhur, moralitas tinggi, dan sikap perilaku terpuji
menjadi diragukan.
Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh
lingkungannya. Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama
dari orangtuanya. Dia belajar untuk mengenal nlai-nilai dan berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai tersebut. Dalam mengembangkan nilai moral anak, peranan
orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Menurut Adamm
dan Gullotta, terdapat beberapa hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang
tua mempengaruhi nilai remaja, yaitu sebagai berikut :
1. Terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat moral remaja dengan tingkat moral orangtua.
2. Ibu-ibu remaja yang
tidak nakal mempunyai skor yang lebih tinggi dalam tahapan nalar moralnya
daripada ibu-ibu yang anaknya nakal, dan remaja yang tidak nakal mempunyai skor
lebih tinggi dalam kemampuan nalar moralnya daripada remaja yang nakal.
3. Terdapat dua faktor
yang dapat meningkatkan perkembangan moral anak atau remaja, yaitu:
orangtua yang mendorong anak untuk berdiskusi secara demokratik dan terbuka
mengenai berbagai isu, dan orangtua yang menerapkan disiplin terhadap anak
dengan teknik berpikir induktif.
Upaya
pengembangan moral, nilai, sikap serta implikasinya bagi pendidikan
Suatu sistem sosial yang
paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada
anak adalah keluarga. Ini didorong oleh keinginan dan harapan orang tua yang
cukup kuat agar anaknya tumbuh dan berkembang menjadi individu yang memiliki
dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur, mampu membedakan yang baik dan yang
buruk, yang benar dan yang salah, yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan,
serta memiliki sikap dan perilaku yang terpuji sesuai dengan harapan orang tua,
masyarakat sekitar, dan agama. Melalui proses pendidikan, pengasuhan,
pendampingan, pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif
lainnya, para orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang
baik bagi anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang
diharapkan.
Perwujudan nilai, moral,
dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Tidak semua individu mencapai
pengembangan nilai-nilai hidup, perkembangan moraldan tingkah laku seperti yang
diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan
nilai,moral dan sikap remaja adalah berikut:
1.
Menciptakan komunikasi.
Dalam komunikasi
didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Tidak hanya
memberikan evaluasi, tetapi juga merangsang anak tersebut supaya lebih aktif
dalam beberapa pembicaraan dan pengambilan keputusan. Di lingkungan keluarga,
teman sepergaulan, serta organisasi atau kelompok. Sedangkan disekolah misalnya
anak diberi kesempatan untuk kerja atau diskusi kelompok. Sehingga anak
berperan secara aktif dalam tanggung jawab dan pengambilan keputusan. Anak
tidak hanya harus mendengarkan tetapi juga harus dirangsang agar lebih aktif.
Misalnya mengikutsertakan ia dalam pengambilan keputusan di keluarga dan
pemberian tanggung jawab dalam kelompok sebayanya. Karena nilai-nilai kehidupan
yang dipelajari barulah betul-betul berkembang apabila telah dikaitkan dalam
konteks kehidupan bersama.
2.
Menciptakan iklim lingkungan yang serasi.
a.
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu, dan moral dan
kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai
hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan secara
positif,jujur dan konsekuen dalam tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai
hidup tersebut.
b.
Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh
karena mereka sedang dalam keadaan membutuhkan suatu pedoman atau petunjuk
dalam rangka mencari jalannya sendiri. Pedoman ini untuk menumbuhkan identitas
diri,kepribadian yang matang dan menghindarkan diri dari konflik-konflik yang
selalu terjadi di masa ini. Nilai nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena
agama juga mengatur tingkah laku baik buruk. Sehingga dapat dikatakan bahwa
suatu lingkungan yang lebih bersifat mengajak, mengundang, atau member
kesempatan akan lebih efektif daripada lingkungan yang ditandai dengan adanya
larangan- larangan yang bersifat serba membatasi.
Kesimpulan
Ada tiga konsep yang
masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang besar terhadap
perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja, yaitu nilai
merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok sosial membuat
keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin dicapai,
kedua moral yang berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara
dalam kehidupan, adat istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai
dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia mana yang baik dan
wajar, ketiga adalah sikap.Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah
predisposisi emosional yang dipelajari untuk merespon secara konsisten terhadap
suatu objek.
Dalam konteksnya hubungan
antara nilai, moral, dan sikap adalah jika ketiganya sudah menyatu dalam
superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik,
sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral
tertentu sehingga akan terwujud dalam perilaku yang bermoral.
Faktor lingkungan yang
berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu mencakup
aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.
Suatu sistem sosial yang
paling awal beruasaha menumbuhkembangkan sistem nilai, moral, dan sikap kepada
anak adalah keluarga. Melalui proses pendidikan, pengasuhan, pendampingan,
pemerintah, larangan, hadiah, hukuman, dan intervensi edukatif lainnya, para
orang tua menanamkan nilai-nilai luhur, moral, dan sikap yang baik bagi
anak-anaknya agar dapat berkembang menjadi generasi penerus yang diharapkan.